Belum lama ini saya oprek-oprek kamar saya dan menemukan sebuah cerpen saya yang sempat dimuat disalah satu harian. Cerpen itu saya tulis waktu saya kelas satu SMA. Waktu itu banyak teman saya yang berkomentar bahwa isinya tidak dapat dimengerti. Bagaimana dengan Anda? Mengertikah?
Udara seperti melarutkan aku menjadi butiran uap-uap yang mengambang terseret angin kesana kemari. Sejak berlalu dari dua jam yang lalu, aku terduduk di bangku taman menunggu terisi satu sisi di sebelahku yang kosong. Bukan, bukan hanya menunggu terisi, tapi juga ditempati orang yang benar-benar kuinginkan untuk mengisinya. Orang yang membuatku merasa tak bermateri.
Aku bagai udara, bergerak sealiran angin senja terbelah guguran daun kering menguning. Bias sinar kemerahan telah menggelayut di kaki langit, sementara bus kota datang dan pergi tanpa kesan di halte depan taman ini. Aku terus menatap ke sana. Muncul wajah yang kutunggu, dari balik bus tua itu, begitu mauku. Tetap saja dia menipuku pada akhirnya. Dan aku pun pulang untuk kembali esok lagi.
***
Lanjutkan membaca “Bangku” →