Aku Nggak Mau Jadi PNS, Ma

Halo, sekarang saya sedang berada di perpustakaan pusat ITS, ngeblog dan twitteran menggunakan fasilitas wifi yang diakses dari ponsel pemberian kakak tersayang.

Pada awalnya, saya tidak berniat ngeblog sampai akhirnya saya melihat ada sesuatu yang menarik yang sedang berlangsung di depan saya. Seorang mahasiswa -yang dari penampilannya saya perkirakan adalah mahasiswa tahun-tahun akhir- sedang duduk sambil menghadap laptop & membelakangi saya di area lesehan ruang majalah. Tapi, bukannya berkutat dengan laptopnya, ia malah terlihat lebih serius bertelepon dengan seseorang. Dari pembicaraannya sih bisa saya simpulkan ia sedang berbicara dengan mamanya. Bukannya mau bersikap tidak sopan dengan menguping pembicaraan orang lain ya, tapi dengan suasana perpus yang cukup tenang dan jarak kami yang kurang dari tiga meter, mau tidak mau ya terdengar juga.

Apa yang saya ungkapkan sebagai hal menarik di awal tadi adalah isi pembicaraan si mas ini. Tampaknya, ia sedang berdebat keras dengan mamanya di seberang. Dari sepotong obrolan yang saya tangkap, tampaknya sang mama bersikeras menyuruhnya menjadi PNS. Sementara sang anak pun tidak kalah bersikeras menolak. Sang anak pun sempat menyebut, “Ma, rejeki iku onok neng endi-endi (Ma, rejeki itu ada dimana-mana).” Namun tampaknya usaha sang anak belum berhasil karena perdebatan di antara mereka tetap berlanjut. Bahkan, sepertinya sang mama semakin tidak mau mengalah. Seringkali saya mendengar Mas tadi menggeram tertahan dan menyebut kata-kata seperti “Mama!” atau “Gusti…” dengan nada yang nyaris putus asa. Saya bahkan bisa membayangkan bila pembicaraan itu terjadi pada seorang yang emosional, pastilah ia sudah menangis sekarang ini. Untungnya Mas di depan saya ini, yang meskipun terdengar sudah putus asa sekali, tidak menangis.

Peristiwa seperti ini mungkin cukup sering kita temui, atau mungkin kita alami sendiri. Mungkin ada saat dimana apa yang kita inginkan tidak sesuai dengan apa yang orang tua kita inginkan, terutama ketika hal tersebut berkaitan dengan masa depan kita. Bisa jadi, ketika berada dalam situasi itu, kita merasa kesal pada orang tua kita. Yang menjalani kehidupan itu nantinya toh aku, mbok ya biar aku menentukannya sendiri. Begitu mungkin pikiran kita. Tidak salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar.

Kadang kita sering lupa betapa sayangnya orang tua terhadap kita. Dan intervensi -kalau bisa disebut begitu- orang tua dalam hal-hal tertentu bisa jadi merupakan bentuk kepeduliannya. Orang tua selalu menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Dan seringkali pula mereka merasa perlu memaksakan kehendak mereka karena pengalaman hidup mereka lebih banyak daripada anak-anaknya. Bukan sesuatu yang salah memang. Meskipun demikian, pendapat bahwa kitalah yang menjalani kehidupan kita sendiri pun perlu dipertimbangkan. Menjalani apa yang tidak kita inginkan tentu akan sangat tidak menyenangkan. Bukan tidak mungkin bahkan akhirnya jadi kurang memuaskan karena kita menjalaninya atas dasar terpaksa, separuh hati.

Jadi harus bagaimana dong? Saya sih bukannya mau bersikap sok bijak ya, saya toh masih sangat muda, masih 17 tahun, masih perlu banyak sekali belajar dalam hidup. Tapi kalau saya yang berada dalam posisi di atas, maka saya pun harus bersikap juga. Yang jelas, saya harus terlebih dahulu memahami keinginan orang tua, karena seringkali keinginan pribadi dan emosionalitas yang tinggi bisa menutup mata hati dan kemampuan berpikir jernih kita. Saya merasa perlu memahami pikiran orang tua saya dari sudut pandang mereka, mengapa mereka menyuruh saya berbuat demikian. Ketika hal itu terjadi dan saya tahu maksud baik orang tua saya, saya bisa berpikir lebih bijak dan tidak egois.

Mengkomunikasikan apa yang kita inginkan tetap diperlukan. Coba jelaskan kepada orang tua kita mengapa kita menginginkannya dengan alasan-alasan yang logis dan kuat. Cobalah dengan tutur kata yang sopan dan pas untuk membuat orang tua kita mampu melihat hal tersebut dari sudut pandang kita pula. Dengan demikian, masing-masing dari kita (orang tua dan anak) dapat saling memahami dan kemudian mencari keputusan dengan lebih bijak.

Ada kalanya memang pada akhirnya usaha di atas tidak berhasil, tidak ketemu jalan pikirannya. Kalau memang sudah demikian, saya lebih memilih untuk mengalah, menuruti apa kata orang tua saya sambil belajar ikhlas dalam menjalankannya. Berikutnya kita hanya perlu belajar untuk mencintai pilihan tersebut, meskipun prosesnya jelas memakan waktu. Sebab, mau bagaimana lagi, kesuksesan hidup tak bisa lepas dari restu orang tua. Ya kan?

Untungnya, selama ini saya belum pernah benar-benar berselisih pendapat dengan kedua orang tua saya. Pernah sekali waktu dulu saya memutuskan untuk kuliah di Arsitektur ITS. Ibu saya kurang setuju karena khawatir prospek kerja sebagai arsitek kurang bagus, sementara ayah saya lebih mengarahkan saya agar kuliah di UGM Yogyakarta. Untungnya, saya bisa meyakinkan mereka. Sekarang, saya sudah menjadi mahasiswa di Arsitektur ITS dan kedua orang tua saya tidak lagi membahas atau mempermasalahkannya.

Oh, soal Mas yang tadi, dia sudah keluar cukup lama tadi sementara saya menyelesaikan postingan ini. Tensi pembicaraannya diakhir tadi tampaknya sudah agak menurun. Meskipun saya tidak tahu bagaimana hasil akhirnya, I hope it’s a happy ending for all. (*)

Aku Nggak Mau Jadi PNS, Ma

Satu pemikiran pada “Aku Nggak Mau Jadi PNS, Ma

Tinggalkan komentar