SMS Lebaran Paling Juara Tahun 2011

Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini pun banyak sms ucapan Lebaran yang berseliweran di ponsel saya. Yaa… standar lah Ada yg membuat puisi, pantun, dan kata-kata indah lainnya. Yang butuh kursus merangkai kata seperti Jamrud ya memilih untuk tidak

Ini Mama, sedang pinjam handphone teman. Mama udah keluar dari kantor polisi dan mama nyesel, Nak. Mama nggak akan minta-minta pulsa lagi, mama minta maaf lahir batin dan mau ngucapin Selamat Hari Raya Idul Fitri 1432 H O:)

(Mama edisi lebaran)

Dikirim oleh Annisa B. T., sobat Arsitektur 2010.

SMS Lebaran Paling Juara Tahun 2011

Jadi Mahasiswa Arsitektur (Tidak) Harus Jago Gambar (part 2)

Dalam postingan sebelumnya saya sudah jelaskan bahwa kemampuan menggambar bagi seorang mahasiswa arsitektur, meskipun penting, bukanlah yang utama. Lantas apa yang utama? Jawabannya akan Anda temui di akhir posting ini. Namun sebelumnya, saya ingin menjelaskan bagaimana rasanya menjadi seorang mahasiswa arsitektur.

Bukannya menakut-nakuti, tapi menjadi seorang mahasiswa arsitektur itu bukan perkara yang mudah -kalau tidak bisa dibilang berat. Saya sendiri merasa semester awal bagaikan neraka dunia, stres dengan tugasnya. Saya ingat betul sepupu saya suka mengolok-olok bahwa mahasiswa arsitektur itu kerjaannya sudah seperti anak TK saja, menggambar dan mewarnai. Saya sendiri hanya tersenyum kecut. Kalau saya jadi dia -nonmahasiswa arsitektur-pun, saya mungkin akan berpendapat sama. Sayangnya saya tak bisa tertawa selepas dia kalau sudah bicara soal tugas. Dan saya cukup yakin dia pun juga akan mengalami hal yang sama kalau jadi saya.

Meskipun agak miris mengatakannya, tapi sesungguhnya waktu itu saya termasuk beruntung karena tidak mengikuti UKM apapun dan secara kebetulan ospek jurusan -atau yang biasa disebut pengaderan- juga belum dimulai. Praktis, fokus saya hanyalah kuliah. Tapi, toh tetap saja kuliah keteteran. Prestasi terburuk yang saya catatkan waktu itu adalah mendapat nilai D untuk mata kuliah Perancangan Arsitektur 1, matkul utama yang berbobot 6 SKS. Bayangkan! Nilai D untuk mata kuliah 6 sks! Sontak IP saya jeblok. Meskipun ada dua nilai A, tetap saja nilai saya tidak tertolong karena total dua matkul tadi hanya 5 sks. IP saya pun mandeg di angka 2,58, jauh sekali menyentuh 3,00. Reaksi orang tua? Marah sih tidak, tapi rasanya orang tua, terutama ayah saya, ingin memberikan hukuman yang lebih memberatkan dengan mengungkit-ungkit terus IP yang tidak sampai 3 tadi sepanjang semester 2. Nah, apa nggak tekanan batin coba?

Satu hal bisa Anda anggap aneh dari kasus saya adalah bahwa saya tahu pasti alasan mengapa saya dapat nilai D tadi. Dan saya cukup tahu pasti hal itu bahkan tanpa menanyakannya pada dosen pembimbing. Lalu, sekarang apa yang menjadi gambaran Anda tentang diri saya? Saya tahu kekurangan saya namun tetap gagal. Ya, bisa dibilang saya tidak bekerja cukup keras.

Seperti yang sudah saya bilang, kuliah arsitektur itu bukan perkara mudah. Masa SMA saya, sayangnya, tidak membuat saya cukup tangguh untuk menghadapinya. Orang-orang yang tahu asal sekolah saya mungkin akan silau. Bukannya berniat untuk sombong sih, tapi SMA saya memang cukup terpandang di kota Surabaya, beberapa bahkan menyebut sampai tingkat nasional. Tapi satu hal yang perlu Anda tahu, bahwa tidak semua lulusan sekolah favorit juga mempunyai kecemerlangan yang sesuai pamor sekolahnya. Nah, saya termasuk yang tidak semua itu.

Tahun pertama, saya memang sangat pasif. Hanya sekolah, nongkrong di kelas, lalu pulang. Tidak bergaul sama sekali. Baru beranjak ke kelas dua saya mulai ikut OSIS, lalu kepanitiaan sana-sini. Di sinilah orientasi saya mulai berubah. Saya jadi lebih mengutamakan berbagai kegiatan-kegiatan kepanitiaan dan organisasi dibanding urusan akademik. Tidak sampai keteteran amat sih. Tapi itu kan masa SMA. Bahkan saat saya sengaja tidak mengumpulkan tugas pun nilai sejarah saya tetap keluar dan cukup baik.

Parahnya, kebiasaan tadi terbawa sampai saya kelas tiga. Bahkan, saat kelas tiga ini saya sudah mulai beranggapan bahwa pergi ke sekolah adalah bertemu teman-teman & bersenang-senang. Yang ajaib juga adalah bahwa saya memutuskan untuk baru mengikuti ekskul (atau di sekolah saya disebut SS) pada tahun akhir tersebut. Gara-gara hal itu, meskipun secara tidak langsung, saya melepas bimbingan belajar saya selang beberapa bulan masuk, padahal, biayanya sudah dibayar lunas sampai akhir tahun ajaran (saya merasa berdosa kepada kedua orang tua saya untuk hal ini). Pikiran saya waktu itu hanya satu: lulus UNAS. Saya tidak berharap lulus SNMPTN dan sebagainya karena niatan awal saya waktu itu memang tidak kuliah, lebih tepatnya malas kuliah. Soal sekarang saya malah jadi mahasiswa arsitektur itu ceritanya panjang, tidak usahlah saya ceritakan karena curhat saya barusan pun sudah cukup panjang.

Intinya, kurang lebih masa SMA saya itu ngawur. Maka, begitu saya memasuki dunia perkuliahan, saya tidak siap dan saya hancur. Tugas jarang selesai tepat waktu. Kalaupun selesai, hasilnya asal-asalan karena nggarapnya grasa-grusu. Masuk kuliah sering telat. Bolos? Wah, jangan ditanya, jatah bolos legal saya termanfaatkan dengan baik. Alasannya sih karena waktu bolos tadi saya pakai mengerjakan tugas yang deadline-nya sudah mepet dan belum selesai. Alasan yang lain lagi karena saya telat dan sungkan -malas- untuk masuk kelas.

Faktor penyumbang kegagalan saya yang lain adalah asistensi. Asistensi, boleh saya bilang, merupakan kunci utama suksesnya kuliah. Melalui asitensilah kita bisa mendapat ilmu yang benar-benar bermanfaat sekaligus mengetahui keinginan dosen pembimbing kita. Ini penting karena dosen pembimbinglah yang memberi kita nilai, yang menentukan nasib kita. Ibarat dunia profesional, dosen pembimbing adalah klien kita. Arsitek memang berhak mengeksplorasi ide, kreativitas, serta ego pribadinya dalam desain. Namun, mengesampingkan peran klien dalam proses tersebut hanya akan mebuat Anda menjadi seorang arsitek yang terbuang. Saya sendiri melewatkan banyak asistensi karena di saat yang lain sudah siap membawa gambar, paling tidak sketsa atau materi apa pun untuk diajukan ke dosen asisten, saya tidak memiliki apa-apa. Nol. Bahkan saya sudah terlambat sejak proses pengerjaan.

Masih ada lagi hal lain yang perlu Anda ketahui dan ingin saya ceritakan. Tapi mengingat postingan ini sudah cukup panjang, silahkan tunggu dulu sampai saya menyelesaikan part selanjutnya. Saya tidak memaksa Anda untuk terus membaca postingan saya. Hanya saja, saya rasa cukup sayang bagi Anda untuk melewatkannya.

Bersambung…

Jadi Mahasiswa Arsitektur (Tidak) Harus Jago Gambar (part 2)

Jadi Mahasiswa Arsitektur (Tidak) Harus Jago Gambar (part 1)

Dimuat pula di mahasiswaarsitektur.wordpress.com dan mahasiswaarsitektur.co.cc

Beberapa hari lalu, tiba-tiba saja seorang adik kelas yang telah memastikan diri masuk jurusan arsitektur ITS, mengikuti jejak saya, mengirimi saya pesan singkat. Dia, entah bertanya atau curhat, bilang bahwa ia nol sama sekali tentang materi arsitektur dan bingung harus bagaimana. Apalagi, ia minder begitu melihat blog teman seangkatan saya yang memajang hasil sketsa dan gambarnya selama dua semester ini karena, menurutnya, ia tidak begitu jago menggambar. Untuk yang pertama, saya tanggapi sambil senyam-senyum saja. Ya barang tentu dia belum tahu apa-apa tentang arsitektur lha wong memang belum mulai kuliah. Tujuan kuliah itu kan ya supaya jadi tahu dan paham serta bisa “berarsitektur”. Sedang untuk masalah minder tadi, saya hanya bilang, “Tenang, nanti kan diajarin cara nggambarnya.” Tampaknya, jawaban saya cukup bisa diterima olehnya. Entah begitu atau dia sungkan bertanya lebih jauh lagi.

Sebenarnya, saya bisa saja bilang kepadanya bahwa jadi arsitek itu tidak harus pintar menggambar. Dengan begitu, ia tentu bisa jadi lebih tenang. Namun, itu berarti sama saja dengan menjual pepesan kosong kepadanya, seperti halnya saya yang merasa ditipu oleh salah satu dosen kami setahun yang lalu. Saya masih ingat sewaktu IPITS (semacam MOS kalau di SMA) salah satu dosen arsitektur ITS yang bernama Pak Wahyu menunjukkan pada kami, para mahasiswa baru, foto-foto hasil rancangan arsitek terkenal di seluruh dunia. Melihat kami semua terperangah, beliau lalu menjelaskan -sekaligus menerbitkan harapan kami- bahwa kami pun bisa menghasilkan karya yang seperti itu. Dan untuk itu, ini yang paling membuai: kami tidak harus pandai menggambar. Selama ini, paradigma yang terbentuk memang arsitek itu sama dengan menggambar. Lebih spesifik lagi, arsitek itu gambarnya bagus. Beliau lantas mencontohkan Frank Gary. Meskipun karyanya sudah sedemikian terkenal, ternyata ia bukanlah seorang yang jago menggambar. Bahkan, menurut Pak Wahyu, gambarnya tidaklah lebih bagus dari hasil corat-coret anak TK. Sketsa yang sedemikian indahnya ternyata adalah hasil karya asistennya. Jadi, Frank Gehry yang memiliki idenya, dan asistennya yang bertugas memvisualisasikannya dalam gambar. Diberi cerita seperti ini, tentu semangat kami -terutama yang merasa kemampuan menggambarnya payah- jadi lantas berkobar-kobar.architect, arsitek, arsitek telepon, kerja arsitek

Sayang seribu sayang, kobaran semangat itu tidak bertahan lama, bahkan nyaris padam begitu memasuki masa perkuliahan. Dua mata kuliah yang menguasai separo dari keseluruhan jumlah sks pada semester satu (masing-masing 6 sks & 3 sks) ternyata mengharuskan kami maraton menggambar. Dua mata kuliah itu disebut Perancangan Arsitektur 1 dan Komunikasi Arsitektur. Komunikasi? Ya, tapi bukan yang ngomong-ngomong itu. Coba Anda pikirkan. Kalau seorang penyiar radio berkomunikasi dengan kata-kata, seorang presenter televisi dengan kata-kata plus gesture (gerak tubuh), maka seorang arsitek harusnya berkomunikasi dengan… GAMBAR! Tepat sekali. Yah, kata-kata dan gerak tubuh juga sih. Tapi kalau gambarnya saja tidak ada, apa yang mau disampaikan coba.

Dan menggambar di sini bukanlah menggambar pemandangan dua buah gunung dengan matahari terbit di tengahnya plus jalanan yang semakin menuju gunung ukurannya semakin kecil sampai jadi lancip. Oh, tidak lupa sebuah rumah dan sawah di tepi jalan. Plus, jangan lupakan juga kawanan burung yang sedang terbang di atas langit. Tapi sayangnya bukan, bukan itu. Menggambar di sini adalah menggaris tanpa penggaris, tidak boleh menggunakan penghapus, harus menggunakan teknik tebal-tipis, rendering (arsiran) untuk menghasilkan bayangan, dan digambar secara perspektif, umumnya perspektif normal, tapi dalam beberapa kasus bisa jadi perspektif mata burung, tergantung permintaan. Yah, itu semua ditambah kemampuan mewarnai (bukan yang sekelas anak TK atau SD yang baru belajar menggambar lho ya) dan kemampuan berpikir spasial. Yah, kurang lebih semua itu.

Tak heran, saya dan beberapa orang teman saya sempat merasa stress waktu awal-awal itu. Saya bahkan sempat menganggap dosen tadi seorang pembohong. Namun, setelah saya pikir-pikir lagi, dosen saya tidak bohong kok. Beliau memang berkata kalau jadi seorang arsitek itu tidak harus pintar menggambar, tapi beliau tidak berkata bahwa hal yang sama juga berlaku saat Anda menjadi seorang MAHASISWA ARSITEKTUR kan? Sejak itu saya paham. Beliau tidak salah. Saya yang salah.

Fakta tersebut -fakta saya menyadari bahwa saya salah- sayangnya tidak membuat gambar saya jadi bagus. Tetapi, saya kemudian mempelajari bahwa kemampuan menggambar memang bukanlah yang utama. Yah, sangat dibutuhkan sih, tapi bukan yang utama. Lantas apa dong yang utama? Saya akan jelaskan, tapi nanti dulu ya, di postingan kedua saya biar Anda penasaran (alesan aja sih sebenarnya karena males nulis panjang-panjang).

bersambung

Jadi Mahasiswa Arsitektur (Tidak) Harus Jago Gambar (part 1)