Day 3 – # Free Broadcasting Lesson Vol. 4

FBL-4-Eva-Zeya

For every beginning, there is always an end.

Hari Sabtu (2/9) kemarin menjadi hari ketiga sekaligus hari terakhir dilaksanakannya rangkaian kegiatan FBL4. Sebagai pertemuan penutup, acara kemarin terbilang cukup fresh. Ada beberapa hal yang dibuat agak berbeda dibanding dua pertemuan sebelumnya. Misalnya, instruktur yang hadir bukan cuma satu, tetapi dua orang, yakni Zeya Oktavian (@zeyaoktavian) dan Eva Afriana (@evafriana). Tempat pelaksanaannya pun bukan lagi di kantor stasiun radio, melainkan di rumah makan Waroeng Steak &  Shake di Jalan Flores no. 31, Surabaya. Semakin istimewa lagi karena semua yang hadir dapat jatah makan dan minum gratis. Yay!

Agenda hari itu dijadwalkan mulai pukul 12.00 WIB. Seperti biasa, para peserta dan instruktur memulai dengan saling memperkenalkan diri dahulu sebelum masuk ke sesi materi. Materi yang dibahas hari itu adalah mengenai public speaking. Kak Zeya dan Kak Eva berbicara berganti-gantian dalam menyampaikan materi. Sepanjang acara, kami tak kurang-kurang tertawa karena tingkah Kak Zeya yang kerap melontarkan celetukan-celetukan atau ekspresi lucu untuk menimpali omongan Kak Eva yang menyampaikan materi dengan lebih kalem dan wise. Tetapi, pasangan duo yang pernah menjadi partner siaran di Colors Radio 87. 7 FM ini sama-sama memberikan pelajaran yang berharga bagi para peserta.

Kak Zeya, yang saat ini bekerja sebagai penyiar dan scriptwriter di EBS 105.9 FM, memberi tips cara mengatasi rasa grogi. Yakni, dengan cara menatap dahi lawan bicara atau audiens saat berbicara. Dengan begitu, kita tidak merasa segugup dibanding ketika menatap matanya langsung. Tetapi, lawan bicara kita tetap merasa dihargai, karena menatap kearah dahi membuat ilusi seolah-olah kita mempertahankan kontak mata dengannya.

Selain itu, Kak Zeya juga menyarankan untuk menemukan dan melakukan hal-hal yang bisa meredakan ketegangan sebelum kita tampil. Bentuknya bisa berbeda-beda untuk tiap orang. Kak Zeya mencontohkan, ia biasanya merasa lebih tenang jika mendengarkan musik rohani. Maka, sebelum tampil mengisi acara, ia biasanya terlebih dulu menyetel musik-musik rohani untuk mengurangi rasa nervous. Bagi orang lain, trik itu bisa saja diganti dengan bernyanyi, makan, lompat-lompat, mengunyah permen karet, dan lain sebagainya.

Diantara semuanya, kiat yang paling penting dalam mengatasi rasa grogi adalah ini: memahami materi dan mempersiapkan diri. Mempelajari dan memahami dengan baik materi yang akan kita bawakan, ditambah melakukan persiapan yang matang sebelum tampil (memakai kostum yang tepat dan pantas, menjaga kebugaran dan stamina, melakukan pemanasan vokal, dsb.), dengan sendirinya akan meningkatkan rasa percaya diri kita. Sisanya, kita tinggal mengatasi rasa gugup minor dengan cara-cara yang telah disebutkan di atas.

Sementara itu, Kak Eva banyak memberi inspirasi plus motivasi dengan membagikan pengalamannya tinggal, belajar, dan berkarier di luar negeri. Selama hampir empat tahun belakangan, Kak Eva menetap di kota Nantes, Perancis untuk melanjutkan studi. Kebetulan saja dia sedang berada di Indonesia untuk liburan dan bersedia meluangkan waktu untuk menjadi instruktur di FBL4. Selain kuliah S2, Kak Eva juga bekerja sebagai penyiar junior di stasiun radio lokal. Dia bercerita bahwa sama seperti kami, ia pun kini sedang dalam fase belajar. Meski telah memiliki portofolio di bidang broadcasting, Kak Eva tetap harus merintis kembali karirnya mulai dari nol. Mengingat, bahasa yang digunakan untuk siaran adalah bahasa Perancis yang notabene sangat jauh berbeda dengan bahasa Indonesia. Ditambah lagi, kultur dan lingkungan kerja di sana yang tentunya berbeda dengan di Indonesia.

Melalui pengalamannya, Kak Eva menggugah kami untuk senantiasa menjadi orang yang berpikiran terbuka, rendah hati, dan tak henti-hentinya belajar. Kak Eva mengajarkan pentingnya memetik pelajaran dan nilai positif dari setiap orang yang kita temui. Dengan begitu, kita bisa mengembangkan kepribadian juga wawasan yang kita miliki. Apalagi, berkali-kali ditekankan bahwa wawasan yang luas adalah modal utama bagi seseorang yang berkecimpung di dunia public speaking dan broadcasting.

Materi hari itu secara umum dibawakan dalam suasana yang santai. Apalagi, menjelang akhir acara, makanan dan minuman yang ditunggu-tunggu mulai berdatangan. Kami pun memasuki sesi praktik sambil menyantap steak dan milkshake yang disuguhkan. Seperti yang sudah-sudah, para peserta bergantian melangsungkan praktik lalu dikomentari bergantian oleh satu peserta dan instruktur. Tema hari itu adalah aksi public speaking. Peserta boleh beraksi seolah-olah sedang menjadi MC, penyiar, penampil presentasi, ataupun jenis-jenis profesi public speaking lainnya asalkan mengangkat topik tentang Waroeng Steak & Shake.

Suasana gayeng pun masih berlanjut hingga acara berakhir. Saat itu, selain peserta FBL4, hadir pula beberapa anggota Sing Your Mind yang merupakan alumni dari Free Public Speaking Class (FPSC) dan Free Broadcasting Lesson (FBL) angkatan-angkatan sebelumnya. Kami masih tinggal sejenak untuk sekadar bertukar cerita tentang pengalaman dan peluang terjun ke dunia broadcasting profesional. Bagaimanapun, sesi foto bersama (yang nggak habis-habis dijepret) tetap menjadi penutup resmi untuk seluruh rangkaian kegiatan FBL4 saat itu.

And finally, after three weeks of lessons and inspirations, we can proudly say: it’s a wrap!

 

day_3[1]

REVIVING THE LONG-LOST DREAM

 

Inspirasional.

Begitulah jika saya harus merangkum acara Free Broadcasting Lesson Vol. 4 (FBL4) dalam satu kata.

Berawal dari melihat poster FBL4 yang diunggah oleh seorang teman di Line, saya tiba-tiba saja merasa tergugah untuk mendaftarkan diri di acara ini. Sejak masih duduk di bangku sekolah, saya memang telah mengangankan berkarier di dunia media dan jurnalistik suatu hari nanti. Beberapa tahun silam, saya bahkan nyaris beneran nyemplung ke dunia radio. Tetapi saat itu saya masih belum beruntung. Setelah berkenalan langsung dengan dunia broadcasting dan orang-orangnya, saya diam-diam mulai merasa minder dengan prospek berkarier di bidang ini. Saya yang introvert ini merasa tak sanggup menjadi seorang media personality yang umumnya adalah people person dan gaya hidupnya sangat social.

Tetapi, setelah bertahun-tahun tak pernah lagi ngutik-ngutik dunia broadcasting, keinginan itu entah bagaimana kini mulai muncul lagi. Barangkali karena saya baru lulus kuliah dan mulai memasuki fase bimbang dengan pilihan karier. Apalagi, tahu-tahu di depan mata saya terpampang sebuah peluang yang terlalu sayang untuk dilewatkan. Maka saya tak lagi ambil pusing. Saya daftar saja, siapa tahu rezeki. Lebih baik gagal setelah mencoba daripada gagal karena tidak mencoba kan? Meski begitu, saya tak menaruh ekspektasi terlalu tinggi. Bahkan dalam formulir pendaftaran, saya terus terang menyatakan kalau saya sebenernya minder berkarier di dunia broadcasting.

Tak dinyana, saya dinyatakan lolos sebagai peserta. Tentu saja saya girang. Apalagi, setelah menghadiri pertemuan pertama, saya jadi tahu bahwa harusnya yang boleh mengikuti FBL adalah alumni kelas besar FPSC. Saya dan Dita, satu orang lagi peserta terpilih FBL4, mendapat pengecualian karena resume pendaftaran kami dinilai cukup baik. Ditambah lagi, dari lima puluh lebih resume yang masuk, hanya dipilih enam orang peserta yang berhak mengikuti keseluruhan rangkaian acara #FBL4. Diantara enam orang tersebut, cuma dua yang background-nya masih nyambung dengan dunia broadcasting, yakni Sarah (@sarahsnaja; kuliah jurusan Komunikasi) dan Wildan (@wildan_libra; SMK jurusan Broadcasting). Sisanya beragam. Saya memiliki latar belakang pendidikan arsitektur, Septa (@septarianurmalasari) kuliah di jurusan Teknik Mesin, Dita (@ditaaradita) bekerja di bidang kesehatan, dan Sita (@verianarosita) kuliah di jurusan Teknologi Pendidikan.

Ah, untung saja saat itu saya tidak mengurungkan niat mendaftar di FBL4, sebab pada akhirnya banyak sekali manfaat yang saya dapat dari sini. Mendapat pelajaran teknis tentang dunia broadcasting rupanya hanya sebagian kecilnya. Tak dapat dipungkiri, tiga kali pertemuan adalah waktu yang terlalu singkat untuk bisa menyerap sekian banyak pengetahuan yang dibutuhkan untuk menjadi seorang broadcaster andal. Tidak akan ada cukup waktu untuk mendalami setiap materi. Kami masih harus mengembangkan sendiri kemampuan praktikal dan menambah jam terbang di luar waktu pelatihan.

Tetapi, secara personal, manfaat yang saya rasakan paling besar dampaknya dari FBL4 adalah ini: sumber motivasi dan inspirasi. Para instruktur tak hanya murah hati dalam berbagi ilmu, mereka semua juga sangat supportif dan tak henti-hentinya memberi motivasi bagi para peserta. Dengan menunjukkan semangat belajar yang tinggi, para peserta yang lain pun secara tak langsung turut menularkan energi positif bagi saya. Saya sangat bersyukur diberi kesempatan untuk masuk ke lingkungan baru ini. Usai #FBL4 ini, saya mulai berusaha membentuk pola pikir baru. Bukan lagi “saya tak cocok dan tak akan bisa masuk ke dunia broadcasting”, melainkan, “saya bisa dan akan belajar agar bisa masuk ke dunia broadcasting.”

Now, one can never know what will happen in the future. Saya tak tahu apakah nantinya saya akan benar-benar berhasil di dunia broadcasting. Tetapi, paling tidak saya tahu, kalaupun gagal, saya gagal setelah mencoba, bukan karena tidak mencoba. That should count for something. (fzi)

 

day_3_grup[1]

Day 3 – # Free Broadcasting Lesson Vol. 4

Tinggalkan komentar