Yang Penting Bahagia: Dari Wayang Sampai Festival Multimedia

Bulan April 2013 lalu, saya dapat kesempatan buat dolan (jalan-jalan) ke Magelang, Jawa Tengah. Saya bersama beberapa teman dari jurusan arsitektur ITS mendaftar sebagai volunteer (sukarelawan) untuk kegiatan Merajut Bambu Seribu Candi, semacam program pemberdayaan masyarakat melalui arsitektur. Acaranya berlokasi di Desa Tingal, beberapa ratus meter saja dari kawasan Candi Borobudur. Program ini digagas oleh beberapa praktisi & pemerhati arsitektur kenamaan nasional dan diikuti oleh mahasiswa dari berbagai penjuru nusantara.

Rombongan kami kebetulan sedang bejo (untung). Hari kedua kami berada di Magelang bertepatan dengan perayaan hari jadi Pondok Tingal, hotel bernuansa arsitektur tradisional yang turut mendukung pelaksanaan acara Merajut Bambu. Akan ada pesta rakyat yang dibuka bagi tamu hotel dan warga sekitar. Agenda utamanya: pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Kami, para sukarelawan bambu, hanya bekerja dari pagi sampai sore. Malamnya, mumpung ada kesempatan senang-senang, sikat saja sekalian! Apalagi acara semacam ini tidak hanya menyajikan hiburan, tapi juga -ini yang terpenting- makanan gratis. Berangkatlah kami menuju lokasi dengan berjalan kaki bersama. Pondok Tingal terletak di tepi jalan raya, sementara base camp kami berada agak ke dalam di wilayah dusunnya.

Begitu tiba, kami disambut oleh suasana yang semarak. Lampu-lampu hias dan dekorasi sudah tertata apik berwarna-warni, kontras sekali dengan gelapnya jalanan dusun yang kami lalui barusan. Sejumlah pegawai hotel sibuk berseliweran kesana-kemari mengenakan pakaian tradisional. Sekelompok warga berkumpul di sana-sini, asyik mengobrol sambil tangan mereka membawa piring-piring kecil berisi jajanan. Suara tabuhan gamelan dan narasi dalang yang melakon terdengar sayup-sayup sebagai latar belakang. Bocah-bocah kecil terlihat bergerombol berebut antrean di stan makanan gratis. Sementara itu, mereka yang di dalam balai tempat pertunjukan wayang digelar tampak khidmat menikmati hiburan yang kini sudah semakin jarang-jarang tersebut.

dalang, pagelaran wayang kulit, blencong, kelir, debog, pewayangan, gunungan
Seorang dalang sedang melakon. (sumber gambar)

Dulunya, pertunjukan wayang adalah bentuk kesenian yang hanya dimainkan dalam lingkup keraton. Lama-kelamaan, kesenian ini mulai dimainkan juga diluar istana sebagai pertunjukan rakyat. Fungsinya pun turut mengalami pergeseran. Dari yang semula dimainkan sebagai pelengkap dalam ritual keagamaan yang bernilai spiritual, kini pagelaran wayang juga dimainkan sebagai bentuk hiburan, tetapi tetap menyelipkan pesan moral dan budi pekerti. Oleh masyarakat, pertunjukan ini sering ditanggap untuk meramaikan hajatan besar yang menandai fase penting kehidupan atau perwujudan rasa syukur. Singkatnya, pagelaran wayang selalu identik dengan perayaan. Pesta rakyat.

Tapi kita hidup pada era dimana ada orang yang tidak bisa memakan makanan mereka tanpa terlebih dahulu memotret dan mengunggahnya ke Instagram. Disaat seperti ini, wayang kulit makin redup pamornya. Kuno! Begitu barangkali pikir sebagian besar orang. Tapi toh perubahan ada bukannya untuk diratapi, tapi disikapi. Seni pewayangan pun bisa berimprovisasi. Seperti yang diperkenalkan oleh Made Sidia, dalang muda asal Bali. Ia memperkenalkan sebuah konsep pewayangan modern yang disebut Wayang Listrik. Tidak lagi menggunakan blencong yang disorotkan pada kelir, tapi menggunakan citra digital yang diproyeksikan pada layar untuk menghidupkan latar cerita yang dilakonkan. Kreatif! Dan memang harus begitu. Di jaman yang serba canggih ini, mau tidak mau kita memang harus mampu beradaptasi. Teknologi mesti kita akrabi. Biar nggak kudet alias kurang update kalau kata anak jaman sekarang. Walhasil, istilah multimedia pun makin tidak asing lagi di telinga kita.

Belum lama ini saya bahkan mendengar ada istilah “Festival Multimedia”. Terus terang, istilah tersebut lumayan baru buat saya. Tetapi, mendengar kata “festival”, segera terbersit dalam pikiran saya keramaian dan kemeriahan seperti dalam pagelaran wayang. Ah, tentu tidak harus wayang. Meskipun bisa saja cocok –seperti pertunjukan Wayang Listrik yang saya sebut sebelumnya, pewayangan tentu lebih tepat dipertontonkan pada festival kesenian daripada festival multimedia.

Judulnya multimedia, sewajarnya acara yang digelar bernuansa senada. Seperti Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) yang tahun ini menggelar festival multimedia yang bertajuk MMB Fest. Acara yang digelar beragam, mulai dari pameran, bazaar, festival hiburan, seminar, workshop, hingga berbagai macam kompetisi (blogging, fotografi, mural, news presenting, basket). Hampir semuanya berbau multimedia.

Ah, tapi saya juga punya ide sendiri untuk festival multimedia. Bagi saya, kata festival harus selalu berbarengan dengan keramaian dan kebahagiaan. Dipadukan dengan kata multimedia, menurut saya resep yang paling pas adalah ini: KOMUNITAS. Kenapa? Karena menggaet komunitas adalah cara paling tepat untuk menggalang massa. Kegiatannya pun banyak yang menarik, sehingga bisa pula dinikmati oleh mereka yang bukan anggotanya. Ditambah lagi ada beraneka ragam komunitas di luaran sana, termasuk di bidang multimedia, tinggal pilih mana yang cocok. Apa saja? Kalau kata saya, paling tidak beberapa komunitas ini:

1.       Komunitas Film

Siapa yang tidak suka nonton film? Saya membayangkan ada pemutaran film secara maraton yang diadakan terbuka bagi seluruh pengunjung festival. Pasti seru. Selain menonton, bisa juga diadakan diskusi mengenai film yang baru selesai diputar.  Akan makin komplit lagi kalau ada workshop pembuatan film (pendek) oleh sineas profesional.

2.      Komunitas Penulis & Pecinta Buku

Bicara tentang media, bisa dibilang media tulisan adalah salah satu dedengkotnya.  Maka tak adil jika tidak menyertakannya dalam festival multimedia. Bedah buku, workshop dan talkshow mengenai dunia tulis-menulis, lomba reportase-blogging on the spot, bazaar buku, adalah contoh kegiatan yang bisa dipilih.

3.      Komunitas Pemusik

Wah, kalau yang ini tidak usah dibahas lagi, sudah pasti wajib! Pertunjukan musik memang sudah lumrah dipilih sebagai hiburan utama dalam berbagai macam acara. Tapi, tidak cuma sekedar konser atau gig, akan lebih mengasyikkan lagi kalau ada pula music clinic dan jam session bersama para pemusik.

4.      Komunitas Seni Rupa

Stan karikatur, lukis wajah, workshop & lomba melukis atau menggambar, serta pameran karya bisa jadi pilihan acara untuk ditampilkan dari komunitas ini. Pasti akan semarak, mengingat seni rupa sendiri ada beragam jenisnya. Mulai dari yang menggunakan kertas (sketsa wajah, karikatur, dan manga), kanvas (lukisan cat minyak, cat air, dsb.), hingga media lain seperti lukis wajah, graffiti, mural, dsb.

5.      Komunitas Fotografi

Kegiatan fotografi tidak lagi terbatas pada kegiatan memotret menggunakan peranti yang mainstream seperti kamera DSLR. Ada juga fotografi kamera lubang jarum, toy cam, hingga kamera ponsel dengan aliran selfie-nya yang sedang booming akhir-akhir ini. Pasti menyenangkan jika semuanya dapat terfasilitasi dalam festival ini.

Rasanya masih banyak lagi komunitas dan kegiatan yang bisa menambah panjang daftar di atas. Ah, apapun itu, tetap ada sesuatu yang penting diperhatikan. Biar bagaimana bentuknya, menurut saya, sebuah festival yang berhasil haruslah memenuhi dua kriteria utama:

 Yang pertama, MENDATANGKAN BANYAK ORANG.

Yang kedua dan yang terpenting, MEMBAWA KEBAHAGIAAN.

Seperti saya yang pulang dari pagelaran wayang malam itu dengan wajah sumringah. Saya dan teman-teman tidak punya kepentingan atau kedekatan secara personal dengan acara yang digelar. Kami cuma numpang makan gratis! Tetapi, melihat semua orang larut dalam kegembiraan malam itu, saya jadi tak tahan untuk tidak ikutan tersenyum. Sepertinya, kebahagiaan adalah semacam energi yang menguar dan menular. Saya rasa, itulah yang kita cari dalam semua festival. (*)

Festival Lumpur Boryeong, Korea Selatan. Dalam balutan "festival", sesuatu yang normalnya menjijikkan seperti berkubang di lumpur bisa jadi kegiatan yang menyenangkan.
Festival Lumpur Boryeong, Korea Selatan. Dalam balutan “festival”, sesuatu yang normalnya menjijikkan seperti berkubang di lumpur bisa jadi kegiatan yang menyenangkan. (sumber gambar)

(Tulisan ini dibuat untuk mengikuti kontes Blog Lover MMB Fest.)

Blog Lover MMBFEST

Yang Penting Bahagia: Dari Wayang Sampai Festival Multimedia