Nominasi, Nominator, dan Nomine

Jennifer-Lawrence-Wins-SAG-Award-2013

Saya yakin topik terkait penggunaan kata “nominasi, nominator, dan nomine” ini sebenarnya tak kurang-kurang dibahas di berbagai rubrik kebahasaan majalah atau media lainnya. Tapi mengingat kesalahan serupa masih lazim ditemui pada berbagai kesempatan, saya rasa tidak ada salahnya membahas kembali topik ini supaya semakin banyak orang yang paham.

Dua minggu lalu, jurusan saya kembali menggelar acara Kompetisi Tugas Akhir Arsitektur yang menjadi bagian dari rangkaian kegiatan perayaan Dies Natalis Arsitektur ITS ke-50. Kontes rutin tahunan ini diawali dengan proses pendaftaran dan pengumpulan karya oleh peserta, lalu dilanjutkan dengan tahap penjurian awal oleh juri internal yang berasal dari kalangan kampus Arsitektur ITS. Sebagai acara utamanya adalah presentasi terbuka oleh tujuh karya finalis terpilih di hadapan dewan juri yang merupakan akademisi maupun praktisi profesional yang telah dikenal berkompeten di bidang arsitektur. Waktu itu, yang menjadi juri antara lain Ir. Hari Sunarko (Ketua IAI Jatim), Ahmad Djuhara (arsitek profesional, djuhara+djuhara), serta Kevin Low (arsitek Malaysia). Nah, saat menghadiri acara presentasi itulah, saya mesti menahan rasa senewen dalam hati tiap kali pembawa acara menyebutkan kalimat-kalimat seperti, “Nominator berikutnya yang akan tampil adalah…”; “Diumumkan kepada seluruh nominator bahwa…”; atau “Seluruh nominator diharap maju ke depan untuk…”

Sebelumnya, mari kita simak penjelasan yang saya kutipkan dari KBBI Daring (dalam jaringan; online) berikut ini:

Nominasi /no·mi·na·si/ n 1 pengusulan atau pengangkatan sbg calon; pencalonan: — lurah akan diumumkan pd bulan depan; 2 yg dicalonkan: ia tak termasuk dl —;

Menominasikan /me·no·mi·na·si·kan/ v menjadikan nominasi: peserta kongres ~ lima calon untuk menjadi ketua umum

Nominator /no·mi·na·tor/ n orang yg mencalonkan (mengunggulkan): ada yg berkelakar bahwa para — itu justru tidak berbicara apa-apa

Nomine /no·mi·ne/ /nominé/ n orang yg dicalonkan (diunggulkan)

Ketika menyebutkan kata “nominator”, yang dimaksudkan oleh si pembawa acara sebetulnya adalah tujuh finalis terpilih. Padahal, kalau ditinjau dengan penjelasan yang tercantum di KBBI, yang tepat adalah menyebut para finalis sebagai “nomine”. Sebutan “nominator” mestinya disematkan pada juri-juri internal yang melakukan penjurian proses awal, sebab merekalah yang memunculkan nama-nama yang terpilih sebagai “nomine”. Sementara itu, “nominasi” sendiri adalah kata benda yang mewakili proses pengajuan, pencalonan, atau pemilihannya.

Sebenarnya, saya yang duduk di kursi penonton diam-diam berharap agar dosen-dosen saya yang menjadi juri tersebut langsung bangkit dari kursi dan melangkah maju dengan sigap setelah pembawa acara memanggil para “nominator”. Supaya seru gitu, biar pembawa acaranya kaget dan ada plot twist-nya dikit. Hehehe… Tetapi meskipun mengantongi status yang sah sebagai nominator, ternyata dosen-dosen saya tadi tidak ada yang maju sama sekali. Tidak mengherankan, karena sepertinya penyalahgunaan sebutan “nominator” sudah sedemikian lumrah sehingga menjadi sesuatu yang dimaklumi (atau malah tidak disadari?) oleh khalayak.

Belum lama ini, salah satu stasiun televisi swasta nasional menyelenggarakan acara penghargaan bagi pelaku industri dunia hiburan sebagai bagian dari perayaan ulang tahunnya yang kedua. Saya perhatikan dalam iklan yang mereka tayangkan, pada awalnya mereka juga menyebut calon penerima penghargaan sebagai “nominator”. Barangkali si editor tetiba mendapatkan pencerahan, beberapa waktu kemudian mereka mengganti sebutannya sebagai “nominee”, diucapkan dengan nuansa Bahasa Inggris namun memang lebih tepat secara penggunaan. Terus terang, saya salut dengan langkah yang dilakukan oleh stasiun televisi tersebut, meskipun mereka “belum mau” mengucapkan kata “nomine” dengan akhiran “e” dengan lafal yang jelas sebagaimana aturan pengucapan Bahasa Indonesia-nya. Paling tidak, mereka menaruh perhatian pada detail dan berani memperbaiki kesalahan. Dan begitu pula yang seharusnya kita lakukan: menghindari membiasakan kesalahan. Bukankah hal-hal yang besar juga bisa berantakan hanya karena kesalahan-kesalahan yang (terlihat) kecil? (*)

Sumber foto: http://www.popsugar.com/celebrity/Jennifer-Lawrence-Wins-SAG-Award-2013-27006986#photo-27006986

Nominasi, Nominator, dan Nomine

Menyampuli Buku

“Kayak buku pelajaran aja Mas pakai dikasih sampul segala.”

Saya baru saja mengembalikan novel yang telah beberapa hari saya pinjam pada pemiliknya, seorang adik kelas. Ia memiliki koleksi lengkap serial novel Supernova-nya Dewi Lestari (yang waktu itu masih sampai Partikel). Sebelumnya saya hanya pernah membaca Akar, buku kedua dari serial tersebut, itupun sudah cukup lama. Maka saya meminjam koleksinya untuk saya baca satu-persatu, mulai dari awal sesuai urutan terbitnya.

Dilihat dari desain sampulnya, sebenarnya cetakan yang dimiliki teman saya itu masih terbilang baru. Barangkali masih beberapa bulan saja umurnya. Tetapi kondisinya itu lho, alamakjan, mengenaskan! Sampulnya tertekuk di sana-sini, meninggalkan jejak gurat-gurat menyerupai keriput pada lapisan terluarnya (lapisan plastik tipis yang membuat kertas sampul terasa agak licin dan mengkilap). Sebagian kecil bahkan ada yang mulai terkelupas. Katanya, buku-buku tersebut memang kerap berpindah tangan alias jadi bahan pinjaman banyak orang. Nah, sebab itulah saya menyarankan agar lain kali ia memberi sampul plastik tambahan (seperti yang biasa dijual di toko buku) untuk buku-bukunya.

Dan jawabannya kira-kira seperti di atas tadi.

Saya benar-benar kaget waktu itu. Bukan karena ada geledek yang tiba-tiba nyamber, bukan. Tetapi karena hingga detik itu dalam benak saya belum pernah sekalipun terlintas konsepsi yang demikian: bahwa sampul plastik itu hanya digunakan untuk buku-buku pelajaran. Saya sendiri menyampuli sebagian besar koleksi buku saya, yang rata-rata adalah novel. Apalagi, saya termasuk penganut paham “Do judge a book by its cover.” Tampilan cover termasuk penting bagi saya. Dan, dengan memasang sampul plastik, tampilan cover buku jadi lebih awet, tidak terlihat kusam dan lebih mudah dibersihkan jika kotor.

Tapi mungkin anggapan orang memang bisa berbeda-beda. Saya sendiri sebetulnya merasa perlu menyampuli karena sayang. Saya sangat jarang beli buku sebab jarang punya duit. Jadi, kalau akhirnya saya memutuskan membeli buku, wajar kan kalau di-eman-eman. Meski, sebagai efek sampingnya, saya juga jadi agak selektif (bukan pelit) untuk urusan meminjamkan buku. Parno duluan, takut rusak atau kenapa-napa. Alhasil, saya hanya pernah meminjamkan buku ke segelintir orang saja, itu pun biasanya karena mereka memang bilang mau pinjam. Jarang sekali saya yang menawarkan duluan.  Untungnya, jumlah koleksi saya pun tidak begitu banyak dan tidak begitu banyak pula teman yang memiliki selera bacaan serupa dengan saya. Hehehe…

Eh, tapi ada sisi baiknya juga, yaitu ketika giliran saya jadi peminjam, saya usahakan untuk menjaga buku pinjaman tersebut dengan sebaik-baiknya. Pernah suatu ketika saya meminjam novel dari seorang teman. Novelnya lumayan tebal, tapi seluruh halaman hingga sampulnya berbercak dan bergelombang. Teman saya pun dengan memelas bercerita bagaimana buku tersebut dulu menjadi korban plafon bocor. Saya entah mengapa langsung merasa berbagi kesedihan dengannya. Kali lain, saya meminjam novel teman saya yang sepertinya kualitas jilidannya kurang begitu bagus. Banyak sekali lembar-lembar halamannya yang mulai terlepas. Saya jadi ekstra hati-hati saat membacanya. Saya membalik halaman demi halaman sehalus mungkin seperti memperlakukan sebuah manuskrip kuno yang rentan dan berharga. Saking khawatirnya, saya bahkan menghubungi si pemilik buku untuk mengonfirmasikan situasinya. Hehehe… Begitulah, saya selalu berusaha memastikan bahwa meskipun tidak dapat membuat jadi lebih baik, paling tidak saat saya kembalikan, buku yang saya pinjam kondisinya tidak jadi lebih buruk. Selain karena memang emanan dengan buku, juga supaya pemiliknya tidak kapok kalau saya mau meminjam lagi lain kali. Hahaha…

Selain itu, saya usahakan juga untuk tidak terlalu lama meminjam buku. Tuntas membaca sedapat mungkin segera saya kembalikan. Sebab, belum lama ini seorang teman meminjam novel kesayangan saya. Beberapa biji sekaligus, lama pula pinjamnya. Saya agak ketar-ketir juga takut bukunya kenapa-napa. Setiap kali ditanya, selalu bilangnya lupa bawa. Akhirnya, setelah beberapa waktu, buku-buku tersebut kembali juga ke tangan saya dalam keadaan baik-baik saja. Duuh.. rasanya sudah seperti ketemu pacar yang bertahun-tahun LDR-an. Lega dan bahagia. Bingits. Saya jadi tahu rasanya menebus rindu setelah sekian lama menimbunnya. Tsaaah… Makanya saya tidak ingin orang lain merasakan kekhawatiran yang sama.

Eh, tapi, karena awalnya tadi bicara soal sampul, tapi semakin ke sini malah ngobrolin soal pinjam-meminjam buku, sekalian saja postingan ini saya tutup dengan sebuah kisah yang menghubungkan keduanya. Begini kisahnya: Saya baru saja membeli dan dalam waktu singkat telah menuntaskan Lalita, novel kedua dari serial Bilangan Fu karangan penulis favorit saya, Ayu Utami. Seperti buku-buku Ayu yang lain, Lalita ini juga bikin saya terkesima bahkan terkesiap karena isinya yang luar biasa kaya dan menakjubkan (agak lebay ya, tapi memang waktu itu saya merasa begitu hehehe…). Saking terpesonanya, saya segera menyebutkan judul buku tersebut ketika ada teman yang bertanya tentang rekomendasi novel yang bagus. Saya bahkan langsung membawakannya keesokan harinya.

Namun, namanya juga sedang euforia, saya jadi tidak ingat kalau belum sempat memberi sampul hingga buku itu telah terlanjur dibawa oleh teman saya. Akhirnya, meskipun dengan agak kurang enak hati, saya jelaskan juga kegalauan saya pada teman tadi. Tanpa bermaksud apa-apa sama sekali, hanya ingin mewanti-wanti dengan halus agar dia memperlakukan buku tersebut dengan baik saja. Eh, lah kok beberapa hari kemudian, ia mengembalikan buku yang sudah tuntas ia baca itu dengan keadaan telah bersampul plastik, ia pasang sendiri. Ia bilang pada saya, “Buku bagus begini memang patut diperlakukan dengan baik, Zi.” Aih, bagaimana daku tidak terharu?!

Nah, apakah kalian juga menyampuli buku-buku yang kalian miliki? Atau adakah perlakuan khusus yang lain? (*)

Menyampuli Buku

Bagaimana Rasanya Jadi Kambing?

 

Saudara saya di kampung memelihara kambing. Saya baru tahu saat berkunjung dua minggu lalu. Mereka belum ada waktu terakhir saya ke sana, barangkali setahun sebelumnya. Ada dua kambing dewasa, jantan dan betina, juga dua lagi yang masih anak-anak (orang Jawa menyebutnya cempe). Yang dewasa diikat pada sebuah tonggak bambu. Beberapa helai daun pisang utuh, lengkap dengan tangkainya, tampak digantungkan untuk makanan mereka. Cempe-cempe asyik mencari makan sendiri di rerumpun bambu di dekatnya.

Entah mengapa, waktu itu saya tiba-tiba merasa tertarik pada kambing-kambing itu. Saya menghabiskan paling tidak sepuluh menit hanya untuk berjongkok diam dan menatapi kedua kambing dewasa. Saya berada cukup dekat untuk bisa menghirup bau badan kambing-kambing itu dan mengamati beberapa detail (ada kotoran ayam yang menempel di kaki kiri depan kambing betina). Tetapi jarak saya juga cukup jauh dari rentangan terpanjang tali penambat yang mengikat leher mereka (diam-diam saya juga takut diseruduk).

Mereka makan dan terus makan. Pada satu waktu si kambing betina membuang kotoran, keluar dari buritnya seperti berondongan peluru hitam kecil-kecil. Tidak lama, si jantan ikut-ikutan buang air kencing. Sesekali, si betina yang sedang hamil tampak menggosok-gosokkan badannya pada tonggak. Mungkin sedang gatal. Saya juga beberapa kali melihat perutnya yang besar itu berkedut-kedut, sepertinya calon cempe yang ada di dalam situ sedang bergerak-gerak. Pada saat begitu, si ibu kambing akan menelengkan leher lalu menggosok-gosok kepala pada perutnya. Agaknya gestur tersebut menyerupai ibu manusia yang mengelus-elus perut saat bayi yang dikandungnya menendang-nendang. Tetapi mereka makan dan terus makan. Mereka buang air, buang kotoran, dan menggosok-gosok badan tanpa berhenti mengunyah. Sesekali saya bisa melihat gigi mereka yang geraham tampak berjajar rapi pada rahangnya. Mulut mereka dengan gesit merobek helai demi helai daun pisang dari tangkai lalu melumatnya. Kres, kres… Saya tidak pernah melihat kambing yang diberi makan daun pisang sebelumnya. Saya bayangkan dari bunyinya saat dikunyah, daun pisang ini barangkali seperti kerupuk yang renyah dan kriuk-kriuk.

 

 

 

Ah, saya jadi bertanya-tanya, apakah ada bedanya bagi mereka daun pisang atau rumput? Daun turi atau kemangi? Setiap kambing yang saya ingat sepertinya selalu menikmati apapun tetumbuhan yang jadi makanannya (atau paling tidak saya pikir demikian). Tetapi mungkinkah sebenarnya mereka lebih menikmati satu jenis daun dibanding yang lain? Apakah mereka juga punya selera yang berlainan seperti manusia (saya bahkan pernah dengar cerita tentang kambing aneh yang hanya mau makan bedak) atau semuanya sama saja? Apakah lidah mereka mampu mencecap rasa? Bisakah hidung mereka mengenali aroma?

Pada titik itu saya juga bertanya-tanya, bagaimanakah rasanya jadi kambing? Hidupnya hanya makan dan makan, mengunyah dan mengunyah tiada henti. Saya ingat ada juga saat-saat dimana mulut saya tidak bisa berhenti makan, yaitu pada hari-hari awal Lebaran. Tetapi saya kira yang seperti itu tidak sepenuhnya sama. Lagipula, saya makan berbagai jenis camilan, bukan cuma daun yang itu-itu saja. Mungkinkah, jika diberi kebebasan, mereka sebenarnya juga ingin melakukan hal yang lain? Barangkali bermain-main sambil berkejaran dengan temannya, atau bahkan diam-diam mengamati makhluk hidup lain (mungkin kucing atau ayam) seperti yang saya lakukan pada mereka.

Saya tak urung juga jadi membayangkan bagaimana mereka bisa makan dan berak di tempat yang sama. Adakah kambing-kambing itu betah dengan yang demikian karena bau-bau itu sudah tak ada bedanya lagi bagi mereka? –badan mereka sendiri saja sudah bau. Mungkinkah mereka sebenarnya tidak tahan juga dengan bau-bau tersebut? Tetapi kambing tidak bisa melontarkan protes pada manusia-manusia yang mengikatnya pada tonggak dan membuat mereka tidak bisa beranjak kemana-mana atau berbuat apa-apa, selain makan dan terus makan (apapun yang disediakan oleh si manusia) serta membuang kotoran di situ-situ saja. Bagaimana rasanya jadi kambing yang tidak punya pilihan tanpa batas seperti manusia? Bagaimana rasanya jika manusia bertukar tempat dengan kambing?

Ah, sepupu saya sudah datang. Tampaknya hari sudah mulai gelap dan saatnya kambing-kambing itu digiring masuk ke kandang mereka yang sempit, lembab, gelap, dan bau. Saya pun harus kembali pulang ke kota. Sepertinya saya tidak berkesempatan melihat langsung ibu kambing melahirkan anaknya. Saya harap cempe itu akan lahir dengan selamat dan tumbuh dengan sehat. Tetapi berlebihankah jika saya diam-diam juga berharap kambing-kambing itu suatu saat nanti bisa mati karena usia tua, bukannya berakhir di pisau jagal untuk hari raya kurban yang sebentar lagi datang? (*)

WP_20150830_16_41_03_Pro

 

Bagaimana Rasanya Jadi Kambing?