Tujuh

Apakah itu waktu?

Mengapa kita mengucapkan “Rasanya seperti baru kemarin…” justru saat kita sadar betapa jauh waktu telah terlewat?

Pada kita ialah sebuah momentum: Tujuh, yaitu tiga ditambah empat. Mari kita rayakan. Sebab kita muda dan pada hadapan kita adalah harapan masa depan cerah. Dan Tujuh dalam sekejap hanya akan tinggal nostalgia. Bahan obrolan pada reuni tahun-tahun mendatang, saat wajah-wajah yang kita temui sebagian telah kita lupa siapa namanya.

Tetapi itu pun masih nanti, belum lagi kita pasti kapan datangnya. Sedang saat ini yang nyata pada kita adalah Tujuh, yaitu tiga (yang tanpa diduga) ditambah empat. Tujuh: kelulusan, kebahagiaan… sekaligus perpisahan. Bagimu adalah pintu menuju masa depan dengan harapan yang menunggu dibaliknya, menanti untuk dibuka. Tetapi sebelum kau mulai mengambil langkah, sudikah sejenak kuajak menengok kembali pada Tujuh yang telah kita lewati? Sebentar saja, sebab aku tahu waktu tak akan membiarkanku menahanmu terlalu lama.

Maka, mari kita mulai dengan Tiga, yang pada mulanya adalah nol. Kau tidak mengenalku sebagaimana aku tidak mengenalmu. Atau persisnya, aku tidak mengenal siapapun. Maklum, aku hanyalah bocah pengadu nasib yang datang dari pinggiran kota. Bagiku kau hanyalah angka. Kau adalah satu, aku adalah dua, dan seterusnya hingga dua puluh delapan. Kita hanyalah mata-mata rantai dari sebuah deret angka.

Tetapi Tiga bukannya datang tiba-tiba. Ada satu, lalu dua yang terlebih dulu dilalui. Kita mulai mengenal lebih dari sekedar angka atau nama dari kebahagiaan, kesedihan, pengalaman, serta kenakalan yang kita bagi sama-sama (susah sekali mengenyahkan tragedi ulang tahun Edgar dari ingatanku!). Maka, dalam perjalanannya, pada Tiga, Kita semakin menjadi. Kita, yaitu kau, aku, dan dua puluh enam lain sesudahnya. Tiga, bersama Dua Puluh Delapan, telah mengenyangkanku dengan kemudaan dan kebahagiaan (terima kasih telah menjadi bagiannya).

Biar bagaimanapun, kita tahu bahwa pertemuan hanyalah perpisahan yang tertunda. Dan begitulah, betapapun indah, saat Tiga telah tergenapi, kita harus mulai meniti jalan kita sendiri-sendiri. Meski nasib, tanpa disangka-sangka, kembali mempertemukan kau dan aku pada Empat yang lagi-lagi sama.

Pada Empat inilah banyak hal mulai berubah. Kita telah semakin berai sebagai mata-mata rantai. Dan hidup menuntun masing-masing kita pada jalan serta cara-cara tersendiri yang berbeda. Bagimu adalah perjalanan, pertemuan, pengalaman, dan pencapaian (yang bikin iri karena aku merasa menjadi anak muda yang amat kering). Sedang bagiku adalah pelajaran, perjuangan, sekaligus pertanyaan. Apakah itu waktu? Empat kita sama tapi jarak yang kita tempuh terasa jauh sekali berbeda.

Tetapi pada Empat kita telah sepenuhnya berubah. Sebab meski gairah dan mimpi-mimpi kita masih muda, masanya telah lewat bagi kita untuk tetap disebut remaja. Kita bukan lagi kembang api yang meletup-letup, yang hasratnya tergerak oleh dorongan-dorongan untuk menjadi indah, megah, dan meriah -meski sekejap lalu timpas. Barangkali kita adalah lilin. Kita mencari sumbu yang padanya api kita dapat disulutkan. Nyala yang sederhana saja, tapi cukup menerangi untuk tempo yang lebih lama. Kita mereka-reka makna dewasa sambil belajar menjadi bijaksana.

Dan demikianlah kita sampai pada Tujuh, yaitu tiga ditampah empat. Tujuh, sebuah penanda melankoli. Dan, Kawan, inilah yang ingin aku ucapkan: aku bangga dan bahagia; padamu, untukmu. Kita memang tak selalu menghabiskan waktu bersama, tapi percayalah, bagiku kau teristimewa. Doaku untukmu: datangilah masa depanmu, dan tuntaskan mimpi-mimpimu. Sampai jumpa di waktu mendatang, saat hidup telah lebih jauh kita jelajahi; saat mimpi-mimpi telah satu-persatu kita penuhi; saat melankoli kembali menghanyutkan kita pada ”rasanya-seperti-baru-kemarin” untuk sekali lagi…

Kawan Tujuh-mu,

Ronny Fauzi

<Ini adalah surat yang saya berikan sebagai hadiah wisuda kepada Adiar Ersti Mardisiwi, teman saya selama tujuh tahun ini. Sekelas sejak SMA selama tiga tahun, kami ternyata masuk perguruan tinggi dan jurusan yang sama pula. sialnya, dia sudah lulus dan saya masih harus berjibaku dengan sisa-sisa sks yang belum tuntas. Tapi saya berbangga dan berbahagia untuk teman saya yang istimewa ini (dialah satu-satunya orang yang bisa saya curhati sampai blak-blakan). Dan surat ini sekaligus jadi balasan untuk surat manis yang ditulisnya untuk saya saat ulang tahun saya ke-19, dua tahun lalu. Kenapa baru sekarang saya balas? Karena saya lupa kalau pernah dituliskan surat begitu, hehehe… (bukan salah saya wong suratnya dimuat di blog, tidak dikirim langsung). Baru-baru ini saja saya temukan dan baca lagi surat tersebut, merasa terharu, lalu merasa harus menulis balasan. Selain itu, saya sekalian memanfaatkan waktu wisuda yang lumayan dekat sebagai momentum dan dalih untuk bermelankoli. After all, selamat menjalani hidup buat Ersti!>

Tujuh